EKONOMI

NASIONAL

POLITIK

Saksi Ahli Sebut Winston Tak Punya Hak Laporkan Terdakwa

[caption id="attachment_6243" align="alignleft" width="290"]Dr Muzakir, saksi ahli pidana hukum dari UII Yogyarkarta dihadirkan dalam sidang BCC Hotel Batam. foto: rudi/amok Dr Muzakir, saksi ahli pidana hukum dari UII Yogyarkarta dihadirkan dalam sidang BCC Hotel Batam. foto: rudi/amok[/caption]

BATAM - Sidang lanjutan kasus hotel BCC Batam memasuki babak keterangan saksi ahli yang dihadirkan pihak terdakwa di Pengadilan Negeri Batam, Rabu (1/7/2015).

 

Salah satunya pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr Muzakir. Dalam keterangannya di hadapan Majelis Hakim ia menegaskan bahwa kasus dugaan pengelapan dalam jabatan yang didakwakan kepada Conti Chandra tidak memiliki legal standing.

 

“Dalam penggunaan suatu dana korporasi, untuk melaporkan adanya tindakan pidana harus didahului dengan RUPS. Dan sebelum RUPS harus ada pertanggungjawaban keuangan. Pertanggungjawaban tersebut melalui audit keuangan,” ujarnya.

 

Ia juga mengatakan rekening pribadi yang digunakan oleh terdakwa Conti Chandra untuk kebutuhan perusahaan tidak bisa dikatakan penggelapan selama itu bisa dipertanggungjawabkan.

 

“Itu bukan pidana tapi pelanggaran administrasi,” jelasnya menjawab pertanyaan Alfonso Napitupulu selaku penasehat hukum terdakwa.

 

Ketika ditanyakan Alfonso soal terkait kertas coret-coret yang dijadikan JPU sebagai alat bukti, Muzakkir menegaskan kertas itu tidak bisa dijadikan alat bukti karena dalam korporasi harus ada pertanggungjawaban keuangan.

 

“Tidak bisa dijadikan alat bukti karena tidak punya nilai kekuatan,” tegasnya.

 

Terkait akte jual beli saham nomor 3,4,5 kepada Tjipta Fudjiarta yang diduga digelapkan terdakwa yang dianggap cacat hukum oleh penasehat hukum terdakwa, Muzakir menegaskan hal tersebut tidak bisa dijadikan obyek penggelapan karena terdakwa merupakan pemegang saham di PT BMS.

 

Ia juga menegaskan ketiga akte tersebut tidak digelapkan oleh terdakwa karena telah diserahkan ke Mabes Polri atas kasus dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan Tjipta Fudjiarta.

 

“Kalau benar akta itu dijadikan alat bukti oleh Polisi, akta itu ada dan disimpan. Hal itu tidak termasuk klasifikasi perbuatan tindak pidana penggelapan,” jelasnya.

 

Lebih lanjut Muzakir juga menegaskan bahwa jika benar Notaris Anly Cenggana sengaja menyerahkan akta itu kepada Conti Chandra selaku Direktur Utama PT BMS saat itu, maka terdakwa tidak melanggar hukum.

 

“Terdakwa juga punya hak untuk menyimpan akte itu karena masih punya saham di PT BMS,” ujarnya.

 

Ketika ditanyakan JPU Aji Satrio Prakoso somasi yang dilakukan Winston selaku Direktur PT BMS sebanyak tiga kali kepada terdakwa terkait akte tersebut, Muzakir balik menanyakan alasan Notaris Anly Cenggana menyerahkan akte tersebut kepada terdakwa.

 

“Mengapa Notaris kasih akte itu kepada terdakwa? Kalau saham belum dibayar Tjipta, berarti akta itu bodong,” tegasnya.

 

Muzakir kembali menegaskan bahwa Winston selaku Direktur PT BMS versi Tjipta Fudjiarta tidak punya legal standing melaporkan kasus dugaan penggelapan yang dilakukan terdakwa jika tidak mendapatkan mandat dari RUPS.

 

“Direktur tidak bisa inisiatif sendiri melaporkan suatu tindak pidana,” ujarnya menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim, Khairul Fuad.

 

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum(JPU) Aji Satrio Prakoso dalam dakwaannya menjerat terdakwa dengan pasal 374 KUHP subsider pasal 372 KUHP tentang penggelapan.

 

“Terdakwa tanpa seizin PT Bangun Mega Semesta atau saksi Tjipta Pudjiarta selaku Komisaris telah menguasai uang hasil penjualan 11 unit apartemen Batam City Condotel yang merupakan uang atau aset yang seharusnya menjadi milik PT BMS dan menguasai dokumen perusahaan berupa akte jual beli saham nomor 3, nomor 4 dan nomor 5 dari Notaris Anly Cenggana,” jelas Aji dalam dakwaannya.

 

Aji juga mengatakan bahwa akibat perbuatan terdakwa, PT BMS menderita kerugian sebesar Rp 7.712.594.929.

 

“Perbuatan terdakwa juga membuat saksi Tjipta Pidjiarta selaku komisaris dan pemegang saham PT BMS tidak dapat menguasai bukti kepemilikan saham PT BMS yang telah dibelinya,” terangnya.

 

Setelah mendengarkan keterangan saksi ahli Muzakir, persidangan kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi ahli perdata DR Arrisman SH,MH dari Universitas Indonesia yang dihadirkan penasehat hukum terdakwa.

(red/amok)

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *