EKONOMI

NASIONAL

POLITIK

Ahli : Akta 89 dan 99 Bukan Akta Pengalihan Saham

 

BATAM - Jaksa Penuntut Umum(JPU) menghadirkan ahli hukum keperdataan dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Prof. DR.Nindyo Pramono untuk memberikan keterangan di persidangan perkara dugaan tindak pidana penipuan atau penggelapan dan pemalsuan surat di PT.Bangun Megah Semesta(BMS) dengan terdakwa Tjipta Fudjiarta di Pengadilan Negeri Batam, Jumat (24/8/2018).

 

Persidangan ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Tumpal Sagala didampingi Hakim Anggota Muhammaf Chandra dan Yona Lamerossa Ketaren dengan Jaksa Penuntut Umum(JPU) Filpan F.D Laia dan Samsul Sitinjak serta Penasehat Hukum terdakwa yakni Hendie Devitra dan Sabri Hamri.

 

JPU Filpan F.D Laia menanyakan kepada kepada saksi ahli kapan sebuah peristiwa keperdataan telah berubah kepada peristiwa pidana.

 

"Di dalam sistem hukum keperdataan, kalau hubungan hukum itu ada pelanggaran hukum. Kalau itu dari hubungan hukum perjanjian, pelanggaran hukumnya wanprestasi. Kalau itu hubungan hukum keperdataan biasa yang bukan berinduk kepada perjanjian, maka pelanggaran hukumnya disebut perbuatan melawan hukum," jelas saksi ahli.

 

"Kalau terbukti hubungan hukum mengandung unsur wanprestasi atau unsur perbuatan melawan hukum, dan perbuatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terbukti di pengadilan dan incraght, kalau didalamnya terkandung unsur pidana, maka disitulah ada muncul antara keperdataan dan pidana," lanjut saksi ahli.

 

Filpan juga menanyakan kepada saksi ahli, apakah untuk masuk kepada unsur pidana, unsur perdata harus dibuktikan terlebih dahulu atau bisa langsung ke pidana.

 

"Tidak serta merta harus terbukti dulu perbuatan melawan hukum. Kalau perkara belum masuk ke pengadilan, maka seseorang yang merasa bahwa hak dan kepentingannya dirugikan orang lain, orang tersebut bisa mengadukan ke penegak hukum atau aparat yang berwenang. Tugas dari aparat yang berwenanglah untuk menjustifikasi unsur-unsur itu apakah memenuhi atau tidak, " jelasnya.

 

Filpan juga menanyakan kepada saksi ahli terkait akta-akta yang diperlihatkan oleh penyidik saat pemeriksaan terkait perkara ini apakah merupakan akta otentik atau akta dibawah tangan.

 

"Sesuai dengan Undang-undang jabatan Notaris, satu saja tidak terpenuhi unsur pasal 38, maka kualifikasi akta otentiknya batal demi hukum. Akibat hukumnya, kalau itu disepakati oleh para pihak, maka kualifikasi akta itu adalah akta dibawah tangan," ujar saksi ahli.

 

Saksi ahli menjelaskan bahwa akibat hukum dari akta notaris yang tidak dibacakan dihadapan para pihak, maka kualifikasi akta otentiknya gugur. Kemudian kalau ditandatangani oleh salah satu pihak dan disepakati oleh pihak lawan, maka akta tersebut adalah alat bukti akta dibawah tangan.

 

"Akibat akta hanya berkualifikasi menjadi akta dibawah tangan, kalau disangkal oleh pihak lain pasti menjadi sengketa," jelasnya.

 

Filpan kemudian menanyakan apakah dalam membatalkan akta yang cacat formil harus ada putusan dari pengadilan agar bisa dikatakan akta itu tidak bisa dipakai atau bisa serta merta dalam persidangan bisa dipakai sebagai pembuktian dalam perkara.

 

"Dalam Undang-undang jabatan notaris, kalau itu dipakai dalam pembuktian, adalah akta dibawah tangan," ujar saksi ahli.

 

Saksi ahli mengatakan bahwa aset perusahaan bukan aset pemegang saham. PT itu badan hukum mandiri dan yang menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di PT adalah Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS).

 

"Pembuatan akta jual beli saham tanpa didahului Perjanjian Perikatan Jual Beli(PPJB) adalah sah, kalau semua prosedur tentang jual beli saham dipenuhi," jelas saksi ahli.

 

Selanjutnya JPU Samsul Sitinjak kemudian menanyakan jika akta dibawah tangan sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan Ham(Kemenkumham) dan terjadi perubahan struktur pengurus di Perseroan.

 

"Biasanya dilakukan gugatan, diminta untuk membatalkan(akta). Akta otentik memang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, namun sempurnanya itu dalam teori bukan absolut, sepanjang tidak terbukti dengan alat bukti sebaliknya," jelas saksi ahli.

 

Sementara itu Penasehat Hukum terdakwa Tjipta Fudjiarta, Hendie Devitra didampingi Sabri Hamri menanyakan kepada saksi ahli terkait akta 89 (kesepakatan pemegang saham bahwa Conti Chandra akan mengambil saham-saham pemegang saham yang lain).

 

Hendie menjelaskan bahwa pada waktu RUPS, saham-saham yang dimiliki pemegang saham lama dalam status gadai, namun tetap dilakukan RUPS. "Apakah akta RUPS itu dapat dipolitisir sebagai akta pemindahan hak atas saham? tanya Hendie kemudian dijawab saksi ahli "belum, menurut undang-undang Perseroan terbatas.

 

Hendie kemudian menanyakan apakah akta 89 tersebut bisa dipolitisir sebagai bentuk lain dari perjanjian antara Conti Chandra dengan pemegang saham lama.

 

"Itu janji dari Conti Chandra akan mengambil alih saham-saham dari pemegang saham lama. Janji tidak dapat dipandang sebagai Perjanjian Perikatan Jual Beli(PPJB). Diambil alih belum tentu dibeli," jelas saksi ahli.

 

Hendie kemudian menanyakan apakah diperbolehkan seorang pemegang saham menguasai atau memiliki seluruh saham di perseroan?

 

"Sebenarnya ada ketentuan dalam UU.PT kalau saham perseroan itu menjadi dikuasai 100 persen oleh satu orang, tapi harus dijual lagi ke pihak ketiga atau diterbitkan saham," ujarnya.

 

"Kalau saya tidak mau lakukan(jual kepihak ketiga) apa sanksinya? kalau merugikan pihak ketiga, saya bertanggung jawab hingga ke harta pribadi" jelas saksi ahli.

 

Hendie juga menanyakan terkait adanya pergantian direksi melalui RUPS, namun saat pengambilan keputusan, pemegang saham minoritas meninggalkan ruang rapat.

 

"Intinya, kalau RUPS sudah diselenggerakan sesuai dengan anggaran dasar dan Undang-undang PT. Kalau pemegang saham minoritas meninggalkan tempat, kuorum jalan dan keputusan(RUPS) tetap sah.

 

Kemudian Hendie menanyakan jika dalam keputusan RUPS itu terjadi pergantian direksi, apakah direksi harus seseorang yang memiliki saham di perseoran?

 

"Tidak harus. Kalau direksi mau diganti, dia harus diberi kesempatan untuk membela diri, harus ada pemberitahuan. Pemberitahuan dan membela diri(RUPS) tidak diperlukan kalau yang mau diganti setuju diganti," jelas saksi ahli.

 

Hendie kemudian menanyakan bagaimana tindakan terhadap direksi yang melalaikan perseroan.

 

"Kalau direksi melanggar itu sudah ada ketentuannya. Terkait pelanggaran (direksi), dia kena pertanggungjawaban pribadi," ujar saksi ahli.

 

Meski demikian, saksi ahli mengatakan bahwa pemegang saham juga tidak boleh semena-mena, tapi harus dibuktikan dulu kerugian yang ada.

 

Hendie kemudian menanyakan bagaimana kalau direksi tidak pernah hadir dan membuat laporan pertanggungjawaban. Kemudian dalam hal direksi terbukti melakukan tindak pidana penggelapan dan sudah incraght. Apa langkah komisaris atau pemegang saham untuk keberlangsungan perseroan?

 

"Kalau sudah terbukti kan berarti ada pelanggaran," ujar saksi ahli.

 

Hendie menanyakan kepada saksi ahli terkait akta 89(RUPS) yang kemudian dibatalkan oleh akta 99(RUPS).

 

"Akta 99 belum akta pengalihan saham," tegas saksi ahli.

 

Ketua Majelis Hakim Tumpal Sagala juga menanyakan kepada saksi ahli terkait akta 89(belum akta pembelian saham) tapi sudah dibayar lunas oleh korban.

 

"Perjanjian boleh berlangsung tapi belum tentu sah Yang Mulia. Karena sah itu merujuk ke syarat sah perjanjian," jelas saksi ahli.

Setelah mendengarkan keterangan saksi ahli hukum keperdataan dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Prof. DR.Nindyo Pramono, persidangan perkara ini kemudian akan dilanjutkan pada Hari Senin tanggal 27 Agustus 2018 mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa dan keterangan saksi meringankan. ***

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *