EKONOMI

NASIONAL

POLITIK

Saksi Ahli : Tindakan Tjipta Tak Penuhi Unsur Pidana

 

BATAM - Sidang dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan di PT Bangun Megah Semesta (BMS) dengan terdakwa Tjipta Fudjiarta kembali digelar di Pengadilan Negeri Batam, Senin (13/8/2018) siang. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan satu saksi ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Khaerul Huda ini dipimpin oleh Majelis Hakim Ketua, Tumpal Sagala, didampingi dua hakim anggota, Taufik Abdul Halim dan Yona Lamerossa Ketaren.

 

Pada kesaksiannya di hadapan majelis hakim persidangan dan Jaksa Penuntut Umum (JPU), saksi ahli menerangkan bahwa objek tindak pidana penipuan dan penggelapan serta keterangan palsu seperti yang dikenakan ke terdakwa Tjipta Fudjiarta ini ada tiga, misalnya saja orang menyerahkan barang atau menghapuskan piutang yang bisa berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud.

 

"Ketika orang menjual sahamnya, otomatis dia menyerahkan sahamnya ke pembeli yang jadi pemiliknya. Letak persoalannya sebenarnya apa yang mendorong terjadinya jual beli saham itu. Apakah didorong oleh penggunaan nama palsu, apakah didorong oleh tipu muslihat, apakah didorong oleh rangkaian kebohongan, ada tidak unsurnya pidana tersebut. Kalau tidak ada, itu namanya peristiwa perdata semata. Jadi dalam perkara dugaan tindak pidana terdakwa ini tak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana, ini murni perdata saja," ujar Khaerul Huda.

 

Kalau hanya itu semata hanya sebuah hubungan yang wajar, lanjut saksi ahli, dari semula memang pembicaraannya mengenai jual beli saham atau utang piutang, tidak ada penggunaan upaya-upaya yang dibuat, jelas orangnya siapa, jelas perusahaannya apa, jelas barangnya apa, maka jelas perkara yang dikenakan ke terdakwa, tak bisa diseret-seret ke ranah hukum pidana atau tindak pidana.

 

"Ini bisa dijelaskan dari dua sisi hukum. Pertama dari sisi hukum pidana materiil. Kalau seseorang meminjam uang, lalu ada orang lain memberi pinjaman, maka yang mungkin tertipu itu seharusnya adalah si pemberi pinjaman. Karena objek dari tindak pidana penipuan itu memberi utang, bukan yang berutang. Kalau ada orang yang melaporkan misalnya dirinya telah ditipu, karena dirinya mau pinjam uang ke orang atau rekannya, tapi si pemilik uang ini tak memberikan pinjaman, atau orangnya ngasih pinjaman tidak sesuai dengan yang dibahas dari awal, ini tidak mungkin dan tak akan bisa dikonsumsi sebagai tindak pidana penipuan," kata saksi ahli.

 

Masih kata saksi ahli, harusnya si pemberi utanglah yang bisa melaporkan bahwa dirinya merasa ditipu kalau dalam hubungan utang-piutang. "Rasanya tak akan mungkin kalau orang yang berutang itu dalam perkara ini merasa ditipu oleh si pemberi utang. Karena tidak termasuk objek dari tindak pidana penipuan," terang saksi ahli.

 

Yang kedua, lanjut saksi ahli, dari sisi hukum formil terdapat dua fakta, yakni fakta yang harus dibutkikan dan fakta yang harus dijelaskan. Kalau ini ada hubungan utang piutang, harusnya dibuktikan. Sementara yang ada faktanya akta jual beli saham.

 

"Keterangan saksi, alat bukti berupa dokumen, saham sudah merupakan dua alat bukti yang itu sudah menjelskan bahwa yang peristiwa terjadi ini adalah jual beli saham. Pertanyaannya adalah, atas dasar apa ada peristiwa yang larinya ke utang piutang. Lalu didasarkan pada klaim atau pernyataan sepihak dari seseorang bahwa ada utang piutang, itu tidak cukup kuat, tak memenuhi syarat pembuktian. Karena ini ada akta yang menunjukkan itu harus dibuktikan. Itu problemnya adalah problem pembuktian, bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi hubungan utang piutang," ujar saksi ahli.

 

Sementara untuk hubungan hukum lain, menurut saksi ahli, jual beli saham dibuktikan dengan misalnya keterangan saksi-saksi, termasuk keterangan pejabat pembuat aktanya, termasuk aktanya itu sendiri.

 

"Kalau dari segi hukum pidana, tentu saya memandang bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa jual beli saham, bukan utang piutang," terangnya. Saksi ahli berpendapat, kalau unsur tindak pidana penggelapan, kalau bicara soal jual beli saham, fakta yang dinilai adalah fakta yang melatarbelakangi jual beli saham itu.

 

"Kalau jual beli sahamnya berlangsung secara wajar, atas kemauan kedua belah pihak, ya harus dikatakan perkara ini murni masalah keperdataan saja, tak bisa diseret ke ranah tindak pidana. Kalau dari segi pidana, kita lihat dulu apa barangnya, yang kemudian ada pada pengusaan pihak lain. Kalau saham sudah dibeli, maka saham itu menjadi milik dari si pembeli. Tak ada lagi hak si penjual untuk mengklaim atau mempermasalahkan saham yang sudah ia lepaskan atau ia jual ke pembelinya," ujarnya.

 

Kalaupun dikatakan penggelapan, saksi ahli mempertanyakan objeknya apa, barangnya apa yang telah digelapkan. Kalau berkenaan dengan hal lain, saksi ahli berpendapat, mungkin bisa dilihat dari segi keperdataannya, misalnya disinggung jual beli saham, tapi ada hubungannya dengan hotel. Apakah hotel itu dengan sendirinya kalau sahamnya dibeli, hotelnya juga beralih kepemilikannya, itu termasuk ranah perdata, bukan pidana.

 

"Prinsipnya adalah yang dilihat dari segi hukum pidana itu penipuan, apa yang melatarbelakangi jual beli saham, kalau penggelapan apa yang digelapkan dan apa yang diperlakukan seolah-olah sebagai miliknya sendiri. Kalau saya mengatakan, perkara ini tak bisa diarahkan ke ranah pidana, karena tak terbukti sedikitpun ada unsur pidananya," terang saksi ahli.

 

Dalam sebuah akta, lanjut saksi ahli, pihak-pihak di dalam akta itu dinyatakan transaksi jual beli ini dibayar lunas, dan itu ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka akta itu sendiri menjadi bukti bahwa itu sudah dibayar lunas.

 

"Kalaupun ternyata si penjual mengklaim itu belum dibayar lunas, loh kenapa dia mau tanda tangan. Tanda tangan itulah yang menyatakan telah dibayar lunas," kata pakar hukum pidana yang juga dosen yang mengajar di tiga universitas ternama ini seperti Unpad, UMJ dan Unri ini.

 

Sementara, lanjut saksi ahli, dari segi hukum pidana, akta itu tidak bisa ditarik ke ranah pidana. Karena akta itu dibuat di depan pejabat. Kalau dalam akta itu tertera dibayar lunas dan ditanda tangani penjual dan pembeli, artinya memang sudah dibayar lunas.

 

"Kalau setelah jual beli saham, langkah apa yang dilakukan pembeli, itu tidak ada urusannya dengan hukum pidana, itu masalah keperdataan. Apakah setelah membeli saham, dia menguasai asetnya atau asetnya dijualnya lagi, itu masalah keperdataan," terangnya.

 

Kalau orang sudah beli saham dan menguasai asetnya, menurut saksi ahli, secara logika itu wajar saja, sebab sudah dibeli, itu tak ada relevansinya dengan pasar 378 ataupun 372 serta 266 KUH Pidana. Sementara Hendie Devitra didampingi Sabri Hamri selaku kuasa hukum terdakwa Tjipta Fudjiarta meminta penjelasan kepada saksi ahli terkati apa itu menggerakan orang lain untuk tujuan tertentu dalam kaitannya dengan perkara yang ia tangani yakni seputar utang piutang dan jual beli saham.

 

"Menggerakkan itu tentu ditujukan kepada orang yang menjadi sasaran penyampaian rangkaian kebohongan, tipu muslihat. Kalau ada penipuan, seharusnya yang tertipu itu si pemberi utang, bukan justru yang berutang. Jadi sangat tidak mungkin kalau korbannya yang ditipu itu adalah orang yang berutang," terang saksi ahli.

 

Yang harusnya untuk menjadi legal standing mempersoalkan persoalan perkara ini, menurut saksi ahli adalah pemilik sahamnya. Jadi tidak mungkin orang yang bukan pemilik saham, merasa tertipu kalau tidak bisa menguasai aset tersebut berupa hotel.

 

"Kalau memang akta kepemilikan saham itu terbukti misalnya palsu, tanda tangan penjual dipalsuka, baru itu bisa dikatakan masuk ke ranah hukum pidana perkara ini. Nah ini tidak ada sama sekali. Saya berpendapat, perkara ini tidak bisa diarahkan ranah pidana," ujar saksi ahli mengakhiri.

 

Sidang selanjutnya masih dengan mendengarkan keterangan dua saksi ahli yakni ahli hukum perdata dan ahli masalah keotentikan akta yang dihadirkan JPU akan digelar pada hari Jumat depan (24/8). (man)

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *