EKONOMI

NASIONAL

POLITIK

Eksploitasi dan Perbudakan Anak, Hiasi Potret Suram Peradaban Pers Tanah Air

[caption id="attachment_3988" align="alignright" width="290"]Ilustrasi Ilustrasi[/caption]

BATAM - Di tengah malam yang mulai dingin, seorang bocah gadis bernama Dea (11) tampak masih mengais rezeki. Dari mulut mungilnya terdengar samar-samar menawarkan koran yang ia jajakan.

 

Gadis kecil ini mencoba mengahampiri setiap orang dan menawarkan koran. "Om..beli koran om" hanya ucapan itu yang keluar dari mulutnya dengan harapan korannya dapat terjual.

 

Tanpa sengaja Dea menjajakan koran kepada wartawan independennews.com (AMOK Group). Tanpa basa-basi AMOK Group langsung membayar satu eksemplar koran tadi Rp 5.000.

 

"Makasih banyak ya om," ucap Dea sumringah, Kamis (5/2/15) malam sekitar pukul 22.30 WIB di salah satu lapak pedagang bandrek di bilangan MKGR Batuaji.

 

Lalu dea menghampiri lagi dan mencoba mengisahkan pengalamannya jadi pedagang asongan koran. Gadis cilik ini mengaku masih sekolah di Sekolah Dasar (SD).  "Saya masih sekolah om, sekarang saya duduk di bangku kelas 5," ujarnya.

 

Ketika disinggung kapan Dea belajar kalau setiap malam berjualan koran seperti ini ? Dea menjawab dengan polos, "saya tidak pernah belajar om sejak jualan koran dari tahun 2013, kami pulangnya pagi sekitar jam 1, mana mungkin kami bisa belajar lagi, sampai di rumah saja udah pagi, langsung tidur pules," cetusnya.

 

Dea mengaku tinggal di Center Park Batam Center. Saban hari Dea dan teman-teman sebayanya diantar jemput oleh bos koran. Setiap sore pedagang koran cilik ini diantar dan diturunkan ke lokasi tempat jualan yang sudah ditentukan.

 

Seperti di Panbill Mall, Mukakuning, di Mall Top 100 Tembesi, Pasar Aviari dan ada juga yang diturunkan di Pasar Kavling Lama. "Kalau saya diturunkan di Mall SP Plaza Batuaji," ujarnya.

 

Dea mengatakan mereka ada sembilan orang. "Setiap malam kerjanya, kami hanya diberi uang oleh bos koran sebanyak Rp 150.000 per bulan," katanya sembari bertanya om dari mana ya.

 

Selain menghadapi dinginnya cuaca malam, anak-anak penjaja koran ini juga mengahadapi risiko dan ancaman bahaya yang sewaktu-waktu menghampiri mereka. Meski demikian penghargaan bagi anak-anak ini tak sebanding dengan keuntungan jumbo perusahaan pers raksasa di Batam.

 

Nah bicara peradaban pers yang telah diulas dan didengung-dengungkan oleh para petinggi pers nasional maupun internasional di gedung-gedung mewah, mall dan hotel-hotel megah. Hal ini sangat ironis. Masih ada perusahaan pers yang 'tutup mata' dengan eksploitasi anak-anak.

 

Bila berbagai cara dilegalkan untuk kelangsungan perusahaan pers raksasa seperti itu. Apakah ini yang dinamakan peradaban pers yang bermartabat ?

 

Dunia akan tahu bahwa selama ini mereka selalu, mengkambinghitamkan perusahaan yang tidak sejalan, maupun menyalahkan perusahan pers kecil. Kuat dugaan hal ini bagian dari konspirasi dari kelompok media raksasa agar kue bernama APBD itu tidak lepas dari cengkramannya.

 

Siapakah sebenarnya "perampok" itu ? (red/amok)