BATAM - Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama stakeholders menggelar Focus Group Discussion (FGD) terkait rencana Penertiban Anchorage Area, Hambatan Investasi, dan Revitalisasi Kawasan Perairan Batam di Balairung BP Batam, Kamis (12/3/2020) siang.
Dalam pertemuan tersebut, tercatat menghasilkan beberapa keputusan penting. Di antaranya, pemerintah menetapkan lokasi resmi perairan yang bisa digunakan untuk labuh jangkar yang sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) dan didukung oleh pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM).
Mengingat, saat ini ada belasan lokasi labuh jangkar di Batam yang ditetapkan dengan dasar yang berbeda-beda. Akibatnya, banyak kecenderungan yang terjadi dan membuat pendapatan negara dari sektor ini menjadi tidak optimal.
“Dengan adanya penentuan lokasi yang berdasarkan mandat yang jelas ini, maka akan memudahkan proses penegakan hukum atas pelanggaran yang ada,” jelas Direktur Kepelabuhanan/Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, Subagyo.
Ia juga menegaskan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) dan pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), nantinya akan menjadi pedoman bagi penegakan hukum di laut untuk melakukan tindakan di lapangan nantinya.
Sejauh ini, sudah ada penindakan terhadap 20 kapal dari berbagai negara yang berlabuh di perairan Batam. Dimana mereka diamankan karena tidak memiliki kelengkapan dokumen yang menjadi syarat untuk melakukan proses labuh jangkar dan tidak melakukan pembayaran.
Harapannya, adanya penetapan lokasi labuh jangkar yang sesuai dengan aturan yang ada, potensi labuh jangkar yang diperkirakan sebesar Rp 4,5 triliun sampai Rp 5 triliun per tahun, perlahan bisa direalisasikan.
“Di Singapura, kapal dengan ukuran antara 300 sampai 400 meter berlabuh, satu hari bayar USD 6.000, hari kedua dan ketiga semakin mahal supaya bongkar tidak lama-lama. Di Indonesia malah tidak bayar, karena mereka ngumpet di posisi-posisi yang tidak jelas,” kata Subagyo lagi.
Potensi lain yang juga akan ditingkatkan dalam FGD ini adalah soal Traffic separation Scheme (TSS) yang saat ini didominasi oleh Singapura dan Malaysia. Dimana jasa pandu kapal di lokasi ini berada di angka sekitar USD 6.000.
Dalam setahun, Indonesia hanya sanggup melakukan pemanduan terhadap 6 dari banyak kapal yang melintas di kawasan ini.
“Saat ini kita hanya dapat 6 kapal per tahun. Ini yang akan kita maksimalkan,” kata Subagyo
Pemerintah juga akan mengoptimalkan potensi Vessel Traffic System (VTS) yang saat ini juga dikuasai Singapura dan Malaysia. Terakhir, pemerintah akan mendorong optimalisasi Indonesia sebagai anggota International Maritime Organization (IMO) kategori C.
Kategori C yang menaungi anggota IMO yang memiliki kepentingan khusus dan peran terbesar dalam transportasi laut atau navigasi. Pemilihan Anggota Dewan Kategori C turut mempertimbangkan keterwakilan semua daerah geografis utama di dunia.
Dalam hal ini, sebagai anggota IMO Kategori C, Indonesia akan mendorong Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai bagian dari Maritime Polition yang berkaitan dengan pengawasan di jalur tersebut.**